30 November 2010


Cara Pakai Kondom Lelaki

Cara Pakai Kondom Lelaki: "

Efektifitas pemakaian kondom akan tinggi, apabila pengguna kondom dapat menggunakan kondom dengan baik dan benar setiap kali akan berhubungan seksual. Angka kegagalan kontrasepsi kondom sangat sedikit yaitu 2-12 kehamilan per 100 perempuan per tahun. Kondom merupakan selubung/sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan. Selain sebagai pencegah kehamilan, juga mencegah penyakit menular seksual.


Di bawah ini, adalah cara pemakaian kondom pria.




  • Tahap 1


Gambar cara pakai kondom pria 1Kondom dipasang saat penis ereksi, dan sebelum melakukan hubungan badan.



  • Tahap 2


Gambar cara pakai kondom pria 2Buka kemasan kondom secara hati-hati dari tepi, dan arah robekan ke arah tengah. Jangan menggunakan gigi, benda tajam saat membuka kemasan.



  • Tahap 3


Gambar cara pakai kondom pria 3

Tekan ujung kondom dengan jari dan jempol untuk menghindari udara masuk ke dalam kondom. Pastikan gulungan kondom berada di sisi luar.



  • Tahap 4


Gambar cara pakai kondom pria 4

Buka gulungan kondom secara perlahan ke arah pangkal penis, sambil menekan ujung kondom. Pastikan posisi kondom tidak berubah selama coitus, jika kondom menggulung, tarik kembali gulungan ke pangkal penis.



  • Tahap 5


Gambar cara pakai kondom pria 5

Setelah ejakulasi, lepas kondom saat penis masih ereksi. Hindari kontak penis dan kondom dari pasangan Anda.



  • Tahap 6


Gambar cara pakai kondom pria 6


Buang dan bungkus kondom bekas pakai ke tempat yang aman.


Video cara pakai kondom lelaki



Referensi

avert.org/condom.htm diunduh 4 Maret 2010, 10:17 PM.

kondomku.com/page_3 diunduh 28 Feb. 2010, 10:25 PM.

plannedparenthood.org/health-topics/birth-control/condom-10187.htm diunduh 4 Maret 2010, 1:52 PM.

Saifuddin, BA. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. (Bagian Kedua MK 17- MK 21).

youtube.com/watch?v=tcpfZKvOFZ4&feature=player_embedded

http://ktiskripsi.blogspot.com/

lihat artikel tentang - Cara Pakai Kondom Lelaki
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


Kondom

Kondom tidak hanya mencegah kehamilan, tetapi juga mencegah penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Kondom akan efektif apabila pemakaiannya baik dan benar. Selain itu, kondom juga dapat dipakai bersamaan dengan kontrasepsi lain untuk mencegah PMS.


Pengertian Kondom

Kondom merupakan selubung/sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan. Kondom terbuat dari karet sintetis yang tipis, berbentuk silinder, dengan muaranya berpinggir tebal, yang digulung berbentuk rata. Standar kondom dilihat dari ketebalannya, yaitu 0,02 mm.


Jenis Kondom

Ada beberapa jenis kondom, diantaranya:



  1. Kondom biasa.

  2. Kondom berkontur (bergerigi).

  3. Kondom beraroma.

  4. Kondom tidak beraroma.


Kondom untuk pria sudah lazim dikenal, meskipun kondom wanita sudah ada namun belum populer.


Cara Kerja Kondom

Alat kontrasepsi kondom mempunyai cara kerja sebagai berikut:



  1. Mencegah sperma masuk ke saluran reproduksi wanita.

  2. Sebagai alat kontrasepsi.

  3. Sebagai pelindung terhadap infeksi atau tranmisi mikro organisme penyebab PMS.


Efektifitas Kondom

Pemakaian kontrasepsi kondom akan efektif apabila dipakai secara benar setiap kali berhubungan seksual. Pemakaian kondom yang tidak konsisten membuat tidak efektif. Angka kegagalan kontrasepsi kondom sangat sedikit yaitu 2-12 kehamilan per 100 perempuan per tahun.


Manfaat Kondom

Indikasi atau manfaat kontrasepsi kondom terbagi dua, yaitu manfaat secara kontrasepsi dan non kontrasepsi.


Manfaat kondom secara kontrasepsi antara lain:



  1. Efektif bila pemakaian benar.

  2. Tidak mengganggu produksi ASI.

  3. Tidak mengganggu kesehatan klien.

  4. Tidak mempunyai pengaruh sistemik.

  5. Murah dan tersedia di berbagai tempat.

  6. Tidak memerlukan resep dan pemeriksaan khusus.

  7. Metode kontrasepsi sementara


Manfaat kondom secara non kontrasepsi antara lain:



  1. Peran serta suami untuk ber-KB.

  2. Mencegah penularan PMS.

  3. Mencegah ejakulasi dini.

  4. Mengurangi insidensi kanker serviks.

  5. Adanya interaksi sesama pasangan.

  6. Mencegah imuno infertilitas.


Keterbatasan Kondom

Alat kontrasepsi metode barier kondom ini juga memiliki keterbatasan, antara lain:



  1. Efektifitas tidak terlalu tinggi.

  2. Tingkat efektifitas tergantung pada pemakaian kondom yang benar.

  3. Adanya pengurangan sensitifitas pada penis.

  4. Harus selalu tersedia setiap kali berhubungan seksual.

  5. Perasaan malu membeli di tempat umum.

  6. Masalah pembuangan kondom bekas pakai.


Penilaian Klien

Klien atau akseptor kontrasepsi kondom ini tidak memerlukan anamnesis atau pemeriksaan khusus, tetapi diberikan penjelasan atau KIE baik lisan maupun tertulis. Kondisi yang perlu dipertimbangkan bagi pengguna alat kontrasepsi ini adalah:





































Kondom



Baik digunakan



Tidak baik digunakan


Ingin berpartisipasi dalam program KBMempunyai pasangan yang beresiko tinggi apabila terjadi kehamilan
Ingin segera mendapatkan kontrasepsiAlergi terhadap bahan dasar kondom
Ingin kontrasepsi sementaraMenginginkan kontrasepsi jangka panjang
Ingin kontrasepsi tambahanTidak mau terganggu dalam persiapan untuk melakukan hubungan seksual
Hanya ingin menggunakan alat kontrasepsi saat berhubunganTidak peduli dengan berbagai persyaratan kontrasepsi
Beresiko tinggi tertular/menularkan PMS

Kunjungan Ulang

Saat klien datang pada kunjungan ulang harus ditanyakan ada masalah dalam penggunaan kondom dan kepuasan dalam menggunakannya. Apabila masalah timbul karena kekurangtahuan dalam penggunaan, maka sebaiknya informasikan kembali kepada klien dan pasangannya. Apabila masalah yang timbul dikarenakan ketidaknyamanan dalam pemakaian, maka berikan dan anjurkan untuk memilih metode kontrasepsi lainnya.


Penanganan Efek Samping

Di bawah ini merupakan penanganan efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi kondom.


























Efek Samping Atau Masalah



Penanganan


Kondom rusak atau bocor sebelum pemakaianBuang dan pakai kondom yang baru atau gunakan spermisida
Kondom bocor saat berhubunganPertimbangkan pemberian Morning After Pil
Adanya reaksi alergiBerikan kondom jenis alami atau ganti metode kontrasepsi lain
Mengurangi kenikmatan berhubungan seksualGunakan kondom yang lebih tipis atau ganti metode kontrasepsi lain

Referensi

Bambangguru. 2008. AIDS. bambangguru.wordpress.com/2008/12/01/aids/#more-301 diunduh 28 Feb. 2010, 08:45 PM

kondomku.com/page_3 diunduh 28 Feb. 2010, 10:25 PM.

Saifuddin, BA. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. (Bagian Kedua MK 17- MK 21).

swish.org.uk/?q=sex_info/condoms diunduh 28 Feb. 2010, 08:40 PM.

thebody.com/content/art12636.html diunduh 28 Feb. 2010, 10:21 PM

http://ktiskripsi.blogspot.com/

lihat artikel tentang - Kondom
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


Penanganan CA Cervix

Penanganan CA Cervix


Stadium dini dari CIN dapat dilakukan pengangkatan seluruhnya dengan biopsi kerucut, atau dibersihkan dengan laser, kauter atau dengan bedah beku, tindakan lanjut yang teratur dan sering dilakukan untuk memantau kekambuhan lesi perlu dilakukan setelah penanganan dengan cara-cara ini.


Pada tingkat klinis (KIS) tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah krio (cryosurgery) atau dengan sinar lase, kecuali bila yang menangani adalah ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan belum mempunyai anak.


Jika wanita tersebut merencanakan untuk tidak mempunyai anak lagi, maka dipilih penanganan dengan histerektomi yang dilanjutkan dengan tindak lanjut berupa pemeriksaan berkala dan pemeriksaan pap smear.


Penanganan karsinoma serviks infasif dapat berupa radioterapi atau histerektomi radikal dengan mengangkat uterus, tuba, ovarium, sepertiga ats dari vagina dan kelenjar limfe panggul, jika kelenjar limfe aorta juga terkena maka juga diperlukan kemoterapi. Prognosis setelah dilakukan pengobatan kanker serviks akan makin baik jika lesi ditemukan dan diobati lebih dini, tingkat harapan kesembuhan dapat mencapai 85 % untuk stadium I, 50%-50% untuk stadium II, 30% untuk stadium III dan 5-10% untuk stadium IV.


Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan kontra indikasi, aplikasi radium dengan dosis 6500-7000 rads/cGy di titik A (setinggi 2 cm dari oue dan sejauh 2 cm dari sumbu uterus)tanpa penambahan penyinaran luar dapat dilakukan.


Pada tingkat klinik Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang invasif, bila kedalaman invasif kurang dari atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area yang luas dan tidak melibatkan pembuluh darah atau limfe, penangananya dilakukan seperti pada KIS di atas.


Pada klinik Ib. Ib occ. Dan Iia dilakukan histerektomi tadikal dengan limfadenektomi panngul. Paska bedah biasanya dilanjutkan penyinaran, tergantung ada/tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfa regional yang diangkat.


Pada tingkat Iib,III, dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk ini primer adalah radioterapi. Sebaiknya kasus dengan karsinoma serviks selekasnya dikirim ke pusat penaggulangan kanker.


Pada tingkat klinik IVa dan IVb penyinaran hanya bersifat paliatif. Pemberian khemotherapi dapat dipertimbangakan. Pada penyakit yang kambuh satu tahun sesudah penanganan lengkap dapat dilakukan operasi jika terapi terdahulu adalah radiasi dan prosesnya masih terbatas padan panggul, bilamana prosesnya sudah jauh atau operasi tak mungkin dilakuakn, harus dipilih khemoterapi bila syarat-syaratnya terpenuhi, untuk ini tak digunakan sitostastika tunggal tetapi berbentuk regimen yang terdiri dari kombinasi beberapa sitostatika (polokhemoterapi). Jika terapi terdahulu adalah operasi sebaiknya dilakukan penyinaran bila prosesnya masih terbatas dalam panggul (lokoregional), sedangkan kalau penyinaran tidak memungkinkan atau proses penyebarannya sudah lanjut maka dipilih polikhemoterapi bila syarat-syaratnya terpenuhi.


Kemoterapi


Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.


Prinsip kerja obat kemoterapi (sitostatika) terhadap kanker.


Sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang digunakan saat ini bekerja terutama terhadap sel-sel kanker yang sedang berproliferasi, semakin aktif sel-sel kanker tersebut berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika hal ini disebut Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat prolifersainya maka kepekaannya semakin rendah , hal ini disebut Kemoresisten.


Obat kemoterapi ada beberapa macam, diantaranya adalah :


1) Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik Anthrasiklin obst golongsn ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi.


2) Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti sel, yang berakibat menghambat sintesis DNA.


3) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja pada gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.


4) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat sintesis protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker tersebut.


Pola pemberian kemoterapi


Kemoterapi Induksi


Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor) atau pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan.


Kemoterapi Adjuvan


Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan atau radiasi, tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro metastasis).


Kemoterapi Primer


Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan pada kanker yang bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu sebelum pengobatan yang lain misalnya bedah atau radiasi.


Kemoterapi Neo-Adjuvan


Diberikan mendahului/sebelum pengobatan /tindakan yang lain seperti pembedahan atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil guna.


Cara pemberian obat kemoterapi.


Intra vena (IV)


Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus IV pelan-pelan sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 – 120 menit, atau dengan continous drip sekitar 24 jam dengan infusion pump upaya lebih akurat tetesannya.


Intra tekal (IT)


Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan tumor dalam cairan otak (liquor cerebrospinalis) antara lain MTX, Ara.C.


Radiosensitizer


yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum radiasi, tujuannya untuk memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl kemoterapi ini antara lain Fluoruoracil, Cisplastin, Taxol, Taxotere, Hydrea.


Oral


Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran®, Alkeran®, Myleran®, Natulan®, Puri-netol®, hydrea®, Tegafur®, Xeloda®, Gleevec®.


Subkutan dan intramuskular


Pemberian sub kutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah L-Asparaginase, hal ini sering dihindari karena resiko syok anafilaksis. Pemberian per IM juga sudah jarang dilakukan, biasanya pemberian Bleomycin.


Topikal


Intra arterial


Intracavity


Intraperitoneal/Intrapleural


Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian intrapleural yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk memusnahkan sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk mengehntikan produksi efusi pleura hemoragis yang amat banyak , contohnya Bleocin.


Tujuan pemberian kemoterapi.


Pengobatan.


Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.


Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.


Mengurangi komplikasi akibat metastase.


Persiapan dan Syarat kemoterapi.


Persiapan


Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi:


a) Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit.


b) Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.


c) Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila serim creatinin meningkat.


d) Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum)


e) EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin).


Syarat


a) Keadaan umum cukup baik.


b) Penderita mengerti tujuan dan efek samping yang akan terjadi, informed concent.


c) Faal ginjal dan hati baik.


d) Diagnosis patologik


e) Jenis kanker diketahui cukup sensitif terhadap kemoterapi.


f) Riwayat pengobatan (radioterapi/kemoterapi) sebelumnya.


g) Pemeriksaan laboratorium menunjukan hemoglobin > 10 gram %, leukosit > 5000 /mm³, trombosit > 150 000/mm³.


Efek samping kemoterapi.


Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas :


1. Efek amping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24 jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.


2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis.


3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati.


4. Effek samping yang terjadi kemudian ( Late Side Effects) yang timbul dalam beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.


Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap pemberian, maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada setiap penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna.


Efek samping yang selalu hampir dijumpai adalah gejala gastrointestinal, supresi sumsum tulang, kerontokan rambut. Gejala gastrointestinal yang paling utama adalah mual, muntah, diare, konstipasi, faringitis, esophagitis dan mukositis, mual dan muntah biasanya timbul selang beberapa lama setelah pemberian sitostatika dab berlangsung tidak melebihi 24 jam.


Gejala supresi sumsum tulang terutama terjadinya penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia), sel trombosit (trombositopenia), dan sel darah merah (anemia), supresi sumsum tulang belakang akibat pemberian sitistatika dapat terjadi segera atau kemudian, pada supresi sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada hari ke-8 sampai hari ke-14, setelah itu diperlukan waktu sekitar 2 hari untuk menaikan kadar laukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi kemudian penurunan kadar leukosit terjadi dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua dan pada sekitar minggu ke empat dan kelima. Kadar leukosit kemudian naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat menurunkan daya tubuh, trombositopenia dapat mengakibatkan perdarahan yang terus-menerus/ berlabihan bila terjadi erosi pada traktus gastrointestinal.


Kerontokan rambut dapat bervariasi dari kerontokan ringan dampai pada kebotakan. efek samping yang jarang terjadi tetapi tidak kalah penting adalah kerusakan otot jantung, sterilitas, fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati, sklerosis kulit, reaksi anafilaksis, gangguan syaraf, gangguan hormonal, dan perubahan genetik yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker baru.


Kardiomiopati akibat doksorubin dan daunorubisin umumnya sulit diatasi, sebagian besar penderita meninggal karena “pump failure”, fibrosis paru umumnya iireversibel, kelainan hati terjadi biasanya menyulitkan pemberian sitistatika selanjutnya karena banyak diantaranya yang dimetabolisir dalam hati, efek samping pada kulit, saraf, uterus dan saluran kencing relatif kecil dan lebih mudah diatasi.


DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :


1. Nyeri kronik berhubungan dengan pertumbuhan tumor.


2. Nyeri akut berhubungan dengan aktual atau potensual kerusakan jaringan akibat metastase tumor.


3. PK: Perdarahan


4. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


5. Mual berhubungan dengan kemotherapi


Daftar Pustaka


Bulecheck, 1996, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby-Year Book, USA


Nanda, 2001, Nursing Diagnoses Definition dan Classification, Philadelpia


Price & Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta.


Saifudin, A. dkk, 2002, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, YBP-SP, Jakarta.


Wiknjosastro, H. dkk, 2002, Ilmu Kebidanan, YBP-SP, Jakarta.


Wiknjosastro, H.dkk, 1999, Ilmu Kandungan, YBP-SP, Jakarta.


WwwI.Us.Elsevierhealth.Com, 2004, Nursing Diagnosis : A Guide to Planning Care, fifth Edition.


Ditulis oleh suster.nada di 09:08


http://ktiskripsi.blogspot.com/
lihat artikel tentang - Penanganan CA Cervix
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


PROLAPSUS UTERI

PROLAPSUS UTERI

1. Pengertian

Prolapsus uteri, sistokel, urethrokel, enterokel, rektokel dan kolpokel pasca histerektomia merupakan bagian dari bentuk-bentuk Prolapsus Vagina.

Sedangkan Prolapsus uteri itu sendiri terjadi karena kelemahan ligamen endopelvik terutama ligamentum tranversal dapat dilihat pada nullipara dimana terjadi elangosiokoli disertai prolapsus uteri tanpa sistokel tetapi ada enterokel. Pada keadaan ini fasia pelvis kurang baik pertumbuhannya dan kurang ketegangannya.

Faktor penyabab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatlaksanaan pengeluaran plasenta , reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Oleh karena itu prolapsus uteri tersebut akan terjadi bertingkat-tingkat.


2. Klasifikasi Prolapsus Uteri

Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat antara lain ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal yaitu :

a.Prolapsus uteri TK I dimana servik uteri turun sampai introitus vaginae; Prolapsus uteri TK II, dimana servik menonjol keluar dari introitus vaginae ; Prolapsus uteri TK III, seluruh uterus keluar dari vagina; prolapsus ini juga dinamakan Prosidensia uteri.

b.Prolapsus uteri TK I, servik masih berada di dalam vagina ; Prolapsus uteri TK III, servik keluar dari introitus, sedang pada Prosidensia uteri, uterus seluruhnya keluar dari vagina.

c.Prolapsus uteri TK I, servik mencapai introitus vaginae ; Prolapsus uteri TK II , uterus keluar dari introitus kurang dari ½ bagian ; Prolapsus uteri TK III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari ½ bagian.

d.Prolapsus uteri TK I, servik mendekati prosessus spinosus; Prolapsus uteri TK II, servik terdapat antara Proc. Spinosus dan introitus vaginae ; Prolapsus uteri TK III , servik keluar dari introitus.

e.Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi d, ditambah dengan Prolapsus uteri TK IV (Prosidensia Uteri).


3. Patologi

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat, dari yang paling ringan sampai Prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan pervagina yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligamen yang tergolong dalam fasia endopelvik dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul. Juga dalam keadaan tekanan intraabdominalyang meningkat dan kronik akan memudahkan penurunan uterus, terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada penderita dalam menopouse.

Servik uteri teletak diluar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut. Dan lambat laun menimbulkan ulkus yang dinamakan ulkus dekubitus. Jika fasia dibagian depan dinding vagina kendor biasanya trauma obstetric, ia akan terdorong oleh kandung kencingsehingga menyebabkan penonjolan dinding depan vagina kebelakang yang dinamakan sistokel. Sistokel yang pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya, yang kuerang lancar, atau yang diselesaikan dalam penurunan dan menyebabkan urethrokel. Urethrokel harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal hanya dibelakang urethra ada lubang, yang membuat kantong antara urethra dan vagina.

Kekendoran fasia dibagian belakang dindingvagina oleh trauma obstetrik atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rektum kedepan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol kelumen vagina yang dinamakan retrokel. Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi. Dinding vagina tas bagian belakang turun dan menonjol kedepan. Kantong hernia ini dapat berisi usus atau omentum.


4. Etiologi

Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit, merupakan penyebab prolapsus genitalis dan memperburuk prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah tarikan pada janin pada pembukaan belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam masa nifas. Asdites dan tumor-tumor didaerah pelvis mempermudah terjadinya hal tersebut. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.


5. Gejala-Gejala Klinik

Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadangkala penderita yang satu dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.

Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai :

a.Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol digenitalia eksterna.

b.Rasa sakit dipanggul dan pinggang(Backache). Biasanya jika penderita berbaring, keluhan menghilang atau menjadi kurang.

c.Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala :

1). Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari, ke mudian lebih berat juga pada malam hari.

2). Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya.

3). Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk, mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urine pada sistokel yang besar sekali.

d.Retrokel dapat menjadi gangguan pada defakasi :

1). Obstipasi karena feces berkumpul dalam rongga retrokel.

2). Baru dapat defakasi setelah diadakan tekanan pada retrokel dan vagina.

e.Prolapsus uteri dapat menyababkan gejala sebagai berikut :

1). Pengeluaran servik uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri oleh celana menimbulkan lecet sampai luka dan dekubitus pada portio uteri.

2). Lekores karena kongesti pembuluh darah di daerah servik dan karena infeksi serta luka pada portio uteri.

f.Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa penuh di vagina.


6. Diagnosis

Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan ginekolik umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalis. Friedman dan Little (1961) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut :

Penderita pada posisi jongkok disuruh mengejan dan ditemukan dengan pemeriksaan jari, apakah portio pada normal atau portio sampai introitus vagina atau apakah servik uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring pada posisi litotomi, ditentukan pula panjangnya servik uteri. Servik uteri yang lebih panjang dari biasanyadinamakan Elongasio kolli

Pada sistokel dijumpai didinding vagina depan benjolan kistik lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita mengejan . Jika dimasukkan kedalam kandung kencing kateter logam, kateter itu diarahkan kedalam sistokel, dapat diraba keteter tersebut dekat sekali pada dinding vagina. Urettrokel letaknya lebih kebawah dari sistokel, dekat pada OUE.

Menegakkan diagnosis retrokel mudah, yaitu menonjolnya rectum kelumen vagina 1/3 bagian bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal kedistal, kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam rectum, dan selanjutnya dapat diraba dinding retrokel yang menonjol kelumen vagina. Enterokel menonjol kelumen vagina lebih atas dari retrokel. Pada pemeriksaan rectal, dinding rekruim lurus, ada benjolan ke vagina terdapat diatas rectum.


7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat menyertai Prolapsus uteri adalah :

a.Keratinasi mukosa vagina dan portio uteri.

b.Dekubitus.

c.Hipertropi servik uteri dan elangasio kolli.

d.Gangguan miksi dan stress incontinence.

e.Infeksi jalan kencing.

f.Kemandulan.

g.Kesulitan pada waktu partus.


h.Hemoroid.

i.Inkarserasi usus halus.


8. Pencegahan

Pemendekan waktu persalinan terutama bila kala pengeluaran dan kalau perlu dilakukan elektif (umpamanya foceps dengan kepala sudah didasar panggul), membuat episiotomi, memperbaiki dan mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik, memimpin persalinan dengan baik agar dihindarkan penderita meneran sebelum pembukaan lengkap betul, menghindari paksaan dalam mengeluiarkan plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus pasca persalinan tetap baik dan cepat, serta mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal seperti batuk-batuk yang kronik. Menghindari benda-benda yang berat. Dan juga menganjurkan agar penderita jangan terlalu banyak punya anak atau sering melahirkan.


9. Pengobatan Medis

Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu. Cara ini

dilakukan pada prolapsus ringan tanpa keluhan, atau penderita masih ingin mendapat anak lagi, atau penderita menolak untuk dioperasi, atau kondisinya tidak mengijinkan untuk dioperasi.

a.Latihan-latihan otot dasar panggul.

b.Stimulasi otot-otot dengan alat listrik.

c.Pengobatan dengan pessarium, dengan indikasi : kehamilan, bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi, sebagai terapi tes, penderita menolak untuk dioperasi, untuk menghilangkan simpton yang ada sambil menunggu waktu operasi dapat dilakukan.

Pengobatan Operatif

Prolapsus uteri biasanya disertai dengan Prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan pembedahan untuk Prolapsus uteri, Prolapsus vagina perlu ditangani pula. Adsa kemungkinan terjadi Prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan, padahal tidak ada Prolapsus uteri, atau Prolapsus uteri yang tidak ada belum perlu dioperasi. Indikasi untuk melakukan operasi pada Prolapsus vagina adalah adanya keluhan.

Indikasi untuk melakukan opersi pada Prolapsus uteri tergantung dari beberapa factor, seperti umur penderita, keinginannya untuk mendapat anak atau untuk mempertahankan uterus, tingkat prolapsus dan adanya keluhan.


(Sumber : Wiknjosastro Hanifa, Prof, dr. DSOG, Kelainan letak alat-alat genital dalam Ilmu Kandungan, Cetakan Ke III, Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999, Hal.428 – 442).


http://ktiskripsi.blogspot.com/
lihat artikel tentang - PROLAPSUS UTERI
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


SERVICITIS

SERVICITIS

A.Pengertian

Cervicitis ( endo cervicitis ) ialah radang pada selaput lendir canalis cervikalis. Karena epitel selaput canalis cervikalis hanya terdiri dari satu lapisan silindris mana dengan muda terjadi infeksi. Pada seorang multipara dalam keadaan normal canalis cervikalis bebas kuman, pada seorang multipara dengan ostium uteri eksternum sudah lebih terbuka, batas atas dari daerah bebas kuman ostium uteri internum.


B.Klasifikasi Cervicitas

1.Cervicitis Akula

a.Penyebab

Cervicitis Akula dalam pengertian yang lazim ialah infeksi yang diawali dari endoseviks dan ditemukan dalam gonorhea, dan pada infeksi post abortum atau post partum yang disebabkan oleh streptococcus, stafilococcus dll.

b.Gejala

Cervis merah dan membengkak dengan mengeluarkan cairan mukupurulen. Akan tetapi gejala-gejala pada cervis biasanya tidak seberapa tampak ditengah gejala-gejala lain dari infeksi yang bersangkutan.


c.Terapi

Terapi dilakukan dalam rangka pengobatan infeksi tersebut. Penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas atau menjadi cervicitis kronika.

2.Cervicitis Kronika

a.Patofisiologi

Penyakit ini dijumpai pada sebagian besar wanita yang pernah melahirkan dengan luka-luka kecil atau besra pada cerviks karena partus atau abortus memudahkan masuknya kuman-kuman kedalam endocerviks dan kelenjar-kelenjarnya, lalu menyebabkan infeksi menahun. Beberapa gambaran patologis dapat ditemukan :

1)Cerviks kelihatan normal, hanya pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan infiltrasi endokopik dalam stroma endocerviks. Cervicitis ini tidak menimbulkan gejala, kecuali pengeluaran sekret yang agak putih kekuningan.

2)Disini pada portio uteri sekitar ostium uteri eksternum tampak daerah kemerah-merahan yang tidak terpisah secara jelas dan epitel portio disekitarnya, sekret dikeluarkan terdiri atas mukus bercampur nanah.

3)Sobekan pada cerviks uteri disini lebih luas dan mucosa endocerviks lebih kelihatan dari luar (eksotropion). Mukosa dalam keadaan demikian itu mudah kena infeksi dari vagina, karena radang menahun, cerviks bisa menjadi hipertropis dan mengeras : sekret bertambah banyak.

b.Penyebab

1)Gonorhoe, sediaan harus dari flour cerviks, terutama yang purulen.

2)Sekunder terhadap kolpitis.

3)Tindakan intrauteri dilatasi dll.

4)Alat-alat atau obat kontrasepsi.

5)Robekan cerviks terutama yang menyebabkan extropin.

c.Gejala

1)Flour hebat biasanya kental atau purulen dan kadang-kadang berbau.

2)Sering menimbulkan erosi pada potio yang tampak sebagian daerah yang merah menyala.

3)Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat flour yang purulen keluar dari kanalis cervicalis. Kalau portio normal, tidak ada ektripion maka harus diingat gonorhoe.

4)Sekunder dapat terjadi kolpitis dan vulvitis.

5)Pada cervicitisyang kronis kadang-kadang dapat dilihal bintik-bintik ini disebut ovula nabothii dan disebabkan oleh retensi kelenjar-kelenjar cerviks karena saluran keluarnya tertutup oleh pengisutan dari luka cerviks atau karena radang.


d.Terapi

1)Antibiotika terurama kalau dapat ditemukan gonococus dalam sekret.

2)Kalau cerviks tidak spesifik didapat diobati dalam argentetas netrta 10% atau Albotyl yang menyebabkan dengan epitel slindris dengan harapan bahwa kemudian diganti dan epitel gepeng berlapis banyak.

3)Kauterisasi-radial dengan termokauter, atau dengan krioterapi. Sesudah kauterisasi terjadi nekrosis, jaringan yang meradang terlepas dalam kira-kira 2 minggu dan diganti lambatlaun oleh jaringan yang sehat. Jika radang menahun mencapai endocerviks jauh kedalam kanalis crevikalis, perlu dilakukan konisasi dengan mengangkat sebagian besar mukosa endocerviks. Jika sobekan dan infeksi sangat luas, perlu dilakukan amputasi cerviks.


http://ktiskripsi.blogspot.com/
lihat artikel tentang - SERVICITIS
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


Fibroadenoma

Fibroadenoma

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Fibroadenoma mammae (FAM), umumnya menyerang para remaja dan wanita dengan usia di bawah 30 tahun. Adanya fibroadenoma atau yang biasa dikenal dengan tumor payudara membuat kaum wanita selalu cemas tentang keadaan pada dirinya. Terkadang mereka beranggapan bahwa tumor ini adalah sama dengan kanker. Yang perlu ditekankan adalah kecil kemungkinan dari fibroadenoma ini untuk menjadi kanker yang ganas Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang sering terjadi dipayudara. Benjolan tersebut berasal dari jaringan fibrosa (mesenkim) danjaringan glanduler (epitel) yang berada di payudara, sehingga tumor ini disebut sebagai tumor campur (mix tumor), tumor tersebut dapat berbentuk bulat atauoval, bertekstur kenyal atau padat, dan biasanya nyeri. Fibroadenoma ini dapat kita gerakkan dengan mudah karena pada tumor ini terbentuk kapsul sehingga dapat mobile, olehsebab itu sering disebut sebagai ”breast mouse”.

Di bawah ini kami akan membahas lebih lanjut tentang fibroadenoma mammae.



1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu:

1. agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari fibriodenoma

2. agar mahasiswa dapat mengetahui penyebab fibriodenoma

3. agar mahasisiwa dapat mengetahui gejala fibriodenoma

4. agar mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaaan payudara sendiri


BAB II

TINJAUAN TEORI


A. FIBROADENOMA

1. Definisi

Fibroadenoma adalah benjolan padat yang kecil dan jinak pada payudara yang teridiri dari jaringan kelenjar dan fibrosa.Benjolan ini biasanya ditemukan pada wanita muda, seringkali ditemukan pada remaja putri. Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada wanita. Tumor ini terdiri dari gabungan antara kelenjar glandula dan fibrosa.

Secara histologi:

- intracanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang secara tidak teratur dibentuk dari pemecahan antara stroma fibrosa yang mengandung serat jaringan epitel.

- pericanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang menyerupai kelenjar atau kista yang dilingkari oleh jaringan epitel pada satu atau banyak lapisan. Tumor ini dibatasi letaknya dengan jaringan mammae oleh suatu jaringan penghubung.

Fibroadenoma yang sering ditemukan berbentuk bundar atau oval, tunggal, relative mobile, dan tidak nyeri. Massa berukuran diameter 1-5cm. Biasanya ditemukan secara tidak sengaja.

2. Etiologi dan Epidemiologi

Penelitian saat ini belum dapat mengungkap secara pasti apa penyebabsesungguhnya dari fibroadenoma mammae, namun diketahui bahwa pengaruhhormonal sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dari fibroadenomamammae, hal ini diketahui karena ukuran fibroadenoma dapat berubah padasiklus menstruasi atau pada saat kehamilan. Perlu diingat bahwa tumor iniadalah tumor jinak, dan fibroadenoma ini sangat jarang atau bahkan sama sekalitidak dapat menjadi kanker atau tumor ganas.Fibroadenoma mammae biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitupada usia sekitar remaja atau sekitar 20 tahun. Berdasarkan laporan dari NSWBreats Cancer Institute, fibroadenoma umumnya terjadi pada wanita dengan usia21-25 tahun, kurang dari 5% terjadi pada usia di atas 50, sedangkan prevalensinya lebih dari 9% populasi wanita terkena fibroadenoma. Sedangkanlaporan dari Western Breast Services Alliance, fibroadenoma terjadi pada wanitadengan umur antara 15 dan 25 tahun, dan lebih dari satu dari enam (15%)wanita mengalami fibroadenoma dalam hidupnya. Namun, kejadianfibroadenoma dapat terjadi pula wanita dengan usia yang lebih tua atau bahkansetelah menopause, tentunya dengan jumlah kejadian yang lebih kecil disbanding pada usia muda.


2. Penyebab

Fibroadenoma ini terjadi akibat adanya kelebihan hormon estrogen. Biasanya ukurannya akan meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon estrogen meningkat Fibroadeno mamammae dibedakan menjadi 3 macam:

• Common Fibroadenoma

• Giant Fibroadenoma umumnya berdiameter lebih dari 5 cm.

• Juvenile fibroadenoma pada remaja.

3. Gejala

Pertumbuhan fibroadenoma mammae umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, hanya ukuran dan tempat pertumbuhannya yang menyebabkan nyeri pada mammae. Pada saat disentuh kenyal seperti karet

Benjolan mudah digerakkan, batasnya jelas dan bisa dirasakan pada SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri)

Teraba kenyal karena mengandung kolagen (serat protein yan gkuat yang ditemukan didalam tulang rawan, urat daging dan kulit).

SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri)

1. Berdiri di depan cermin, perhatikan payudara. Dalam keadaan normal, ukuran payudara kiri dan kanan sedikit berbeda. Perhatikan perubahan perbedaan ukuran antara payudara kiri dan kanan dan perubahan pada puting susu (misalnya tertarik ke dalam) atau keluarnya cairan dari puting susu. Perhatikan apakah kulit pada puting susu berkerut.

2. Masih berdiri di depan cermin, kedua telapak tangan diletakkan di belakang kepala dan kedua tangan ditarik ke belakang. Dengan posisi seperti ini maka akan lebih mudah untuk menemukan perubahan kecil akibat kanker. Perhatikan perubahan bentuk dan kontur payudara, terutama pada payudara bagian bawah.

3. Kedua tangan di letakkan di pinggang dan badan agak condong ke arah cermin, tekan bahu dan sikut ke arah depan. Perhatikan perubahan ukuran dan kontur payudara.

4. Angkat lengan kiri. Dengan menggunakan 3 atau 4 jari tangan kanan, telusuri payudara kiri. Gerakkan jari-jari tangan secara memutar (membentuk lingkaran kecil) di sekeliling payudara, mulai dari tepi luar payudara lalu bergerak ke arah dalam sampai ke puting susu. Tekan secara perlahan, rasakan setiap benjolan atau massa di bawah kulit. Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan dengan cara mengangkat lengan kanan dan memeriksanya dengan tangan kiri.Perhatikan juga daerah antara kedua payudara dan ketiak.

5. Tekan puting susu secara perlahan dan perhatikan apakah keluar cairan dari puting susu. Lakukan hal ini secara bergantian pada payudara kiri dan kanan.

6. Berbaring terlentang dengan bantal yang diletakkan di bawah bahu kiri dan lengan kiri ditarik ke atas. Telusuri payudara kiri dengan menggunakan jari-jari tangan kanan. Dengan posisi seperti ini, payudara akan mendatar dan memudahkan pemeriksaan

7. Lakukan hal yang sama terhadap payudara kanan dengan meletakkan bantal di bawah bahu kanan dan mengangkat lengan kanan, dan penelusuran payudara dilakukan oleh jari-jari tangan kiri.

Pemeriksaan no. 4 dan 5 akan lebih mudah dilakukan ketika mandi karena dalam keadaan basah tangan lebih mudah digerakkan dan kulit lebih licin.

1. Patologi

- Makroskopi: tampak bulat, elastis dan nodular, permukaan berwarna putih keabuan.

- Mikroskopi: epitel proliferasi tampak seperti kelenjar yang dikelilingi oleh stroma fibroblastic yang khas (intracanalicular f. dan pericanalicular f.).


1. Penegakan Diagnosa

Pada awalnya penegakan diagnosa tehadap fibroadenoma mammae ini adalah dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian akan dilakukan mammogram (x-ray pada mammae) atau ultrasound pada mammae apabila diperlukan. Yang paling pasti dan tepat dalam diagnosa terhadap fibroadenoma mammae ini adalah penggunaan sample biopsi. Pengambilan sampel biopsi ini dapat dilakukan dengan mengiris bagian mammae atau dengan memasukkan jarum yang kecil dan panjang untuk mengambil sampel sel fibroadenoma tersebut.

Diagnosa terhadap FAM ini dapat dibuat dengan penggabungan penilaian klinis, ultrasonografi dan pengambilan sampel dengan penggunaan jarum. Penilaian klinis terhadap benjolan payudara ini harus mempertimbangkan:


Umur:

¬ Karsinoma: umumnya menyerang pada usia menjelang menopause

¬ Fibroadenoma: umumnya menyerang wanita usia di bawah 30 tahun

1. TREATMENT/PENGOBATAN

Terapi untuk fibroadenoma tergantuk dari beberapa hal sebagai berikut:

•Ukuran

•Terdapat rasa nyeri atau tidak

•Usia pasien

• Hasil biopsyTerapi dari fibroadenoma mammae dapat dilakukan dengan

Operasi pengangkatan tumor tersebut, biasanya dilakukan general anaesthetic pada operasi ini. Operasi ini tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi hanya akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti oleh jaringan normal secara perlahan.

Karena FAM adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan tidak perlu dengan pengangkatan mammae. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk dan ukurannya saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor fisik dan psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien maka diperlukan pengangkatan.

B. CYSTOSARCOMA PHYILODES

1. Definisi

Tumor filodes di payudara, merupakan tumor yang jarang terjadi dibandingkan dengan fibroadenoma bermula dari intralobular stroma dan jarang disebabkan oleh fibroadenoma.

Tumor filodes (sistosarkoma filoides) merupakan suatu neoplasma jinak yang bersifat menyusup (invasive) secara local dan dapat menjadi ganas (10-15%). Pertumbuhannya cepat dan dapat ditemukan dalam ukuran yang besar. Tumor ini terdapat pada semua usia, tetapi kebanyakan terdapat pada usia sekitar 45 tahun.

Tumor filodes ini dapat berukuran kecil sekitar 3-4 cm, dan dapat pula dalam ukuran yang sangat besar dan membuat payudara menjadi besar (bengkak). Beberapa benbentuk lobus dan kistik karena on gross section they exhibit leaflike clefts and slits, they have been designated phyllodes (greek for “leaflike”) tumors

Tumor ini disebut sistosarkoma filodes, sebuah nama yang diperolehnya lebih dari 150 tahun yang lalu, yang ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman bernama Johannes Muller pada tahun 1838. Nama itu jelas salah, karena di dalamnya tidak ditemukan kista (gelembung yang mengandung cairan) dan juga bukan suatu sarkoma (keganasan). Meskipndemikian, memang benar bahwa strukturnya berbentuk daun (phyllon = daun). Masalahnya, tumor paydara ini biasanya tumbuh cepat, terkadang jinak, terkadang di batas antara jinak dan ganas dan terkadang ganas. Untuk pemeriksaan ini seluruh tumor diperlukan, karena di berbagai tempat pada bengkak tersebut, dapat terletak berbagai macam jaringan. Jadi, hanya dapat diatasi dengan membuang seluruh tumor.


2. Gambaran klinik

Tumor ini bentuknya bulat atau lonjong dengan batas yang tegas dan dapat digerakkan (mobil). Konsistensi tumor filodes ini ada bagian yang kistik dan padat seperti karet, tidak melekat pada kulit dan oto pectoralis serta permukaan kulit yang tegang dan mengkilat.

3. Etiologi

Tumor ini bias berasal dari fibroadenoma selular yang telah ada dan sekarang telah mengandung satu atau lebih komponen asal measenkima. Diferensiasi dari fibroadenoma didasarkan atas lebih besarnya derajat selularitas stroma, pleomorfisme selular, inti hiperkromatikdan gambaran mitosis dalam jumlah yang bermakna. Protrusio khas massa polopoid stroma hiperplastik ke dalam kanalikuli yang tertekan menghasilkan penampilan seperti daun yang menggambarkan istilah filodes.

4. Tata Laksana

Lesi yang menempati sebagian besar payudara terbaik ditata laksan dengan mastektomi total. Karena kelenjar limfe jarang terlibat, maka tidak perlu dilakukan pengangkatan kelenjar limfe. Lesi kecil dapat ditata laksana dengan eksisi lokal. Tindakan lebih radikal tidak dibenarkan, karena neoplasma ini bersifat sebagai sarkoma jaringan lunak ringan ketimbang suatu karsinoma yang berasal dari kelenjar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa fibroadenoma dan cyctosarcoma phyilodes merupakan penyakit yang mengenai payudara wanita.

3.2 Saran – saran

Bagi para remaja agar dapat melakukan deteksi dini dengan cara melakukan payudara sendiri


http://ktiskripsi.blogspot.com/
lihat artikel tentang - Fibroadenoma
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5


Retensio Plasenta

Retensio Plasenta

I. PENDAHULUAN

Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.



Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:

a). plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau

b). plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.

Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:

a). kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);

b). plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

II. INSIDEN

Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%–60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16%–17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun (1997–1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.

III. ANATOMI

Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).

Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.

Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.

Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.

IV. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.

Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.

Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:

1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.

2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).

3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.

4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.

Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.

Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :

1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.

2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.

3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.

V. GEJALA KLINIS

a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.

b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.

b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.


VII. DIAGNOSA BANDING

Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.

VIII. PENATALAKSANAAN

Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:

a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.

b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.

c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.

d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.

e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.

f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.

g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:

1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.

2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ.

3. Sepsis

4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.

X. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.


http://ktiskripsi.blogspot.com/
lihat artikel tentang - Retensio Plasenta
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5

29 November 2010


Kehamilan Ektopik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehamilan Ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila mengalami kehamilan ektopik terganggu.
Sebahagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang berimplantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus.
Karena banyaknya resiko dari kehamilan ektopik ini, untuk menghindari klien dari bahaya yang tidak diinginkan, maka diperlukan asuhan kebidanan yang intensif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil kasus ” Kehamilan Ektopik ” di OK UGD RSUP DR. M. Djamil Padang.

1.2 Permasalahan
Dalam penulisan ini permasalahan yang diambil adalah bagaimana dampak kehamilan ektopik terhadap klien di OK UGD RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan apa itu kehamilan ektopik .
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mampu melakukan pengkajian tentang definisi dari Kehamilan ektopik
1.3.2.2 Mampu menjelaskan etiologi dari kehamilan ektopik.
1.3.2.3 Mampu menjelaskan patologi dari kehamilan ektopik.
1.3.2.4 Mampu mengidentifikasi tempat-tempat atau lokasi dari kehamilan ektopik.
1.3.2.5 Mampu memaparkan apa saja penanganan yang harus dilakukan bagi klien dengan kasus kehamilan ektopik.

1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama mengikuti pendidikan.
1.4.2 Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta kemampuan penulis dalam memaparkan dan menjelaskan tentang kehamilan ektopik .
1.4.3 Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa kebidanan.





























BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Defenisi
1) Kehamilan Ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri (Sarwono Prawirohardjo, 2005)
2) Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan yang ektopik yang terganggu dapat terjadi abortus atau pecah, dan hal ini berbahaya bagi wanita tersebut (Sinopsis Obstetri jilid 1, 1998)
3) Kehamilan ektopik kombinasi adalah kehamilan intra uterine yang terjadi dalam waktu bersamaan dengan kehamilan ekstra uterine (Sinopsis Obstetri jilid 1, 1998)
4) Kehamilan ektopik rangkap adalah kehamilan intra uterine dengan kehamilan ekstra uterine yang lebih dulu terjadi, tetapi janin sudah mati dan menjadi litopedion (Sinopsis Obstetri jilid 1, 1998)

2.2 Indikasi
Kehamilan ektopik ada yang belum terganggu dan yang terganggu
1. Kehamilan ektopik yang belum terganggu
a. Ditemukan gejala-gejala kehamilan muda atau abortus imminens ( terlambat haid, mual, muntah, perbesaran payudara, hiperpigmentasi areola, dan garis tengah perut, peningkatan rasa ingin berkemih, porsio lividae, pelunakan serviks, perdarahan bercak berulang )
b. Tanda-tanda tidak umum dari hasil pemeriksaan bimanual pada tahapan ini adalah :
1. Adanya masa lunak di adneksa ( hati-hati dalam melakukan pemeriksaan karena dapat terjadi ruptur atau salah duga dengan ovarium atau kista kecil )
2. Nyeri goyang porsio


2. Kehamilan ektopik yang terganggu
Selain gejala kehamilan muda dan abortus imminens, juga ditemui kondisi gawat darurat dan abdominal akut seperti :
a. Pucat/anemis
b. Kesadaran menurun dan lemah
c. Syok hipovolemik sehingga isi dan tekanan denyut nadi berkurang serta menigkatnya frekuensi nadi > 112/menit
d. Perut kembung ( adanya cairan bebas abdomen ) dan nyeri tekan
e. Nyeri perut bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakkan
f. Nyeri goyang porsio
Diagnosis Banding:
• Abortus biasa
• Salpingitis akut
• Apendisitis akut
• Ruptur korpus luteum
• Torsi kista ovarium
• Mioma sub mukosa yang terpelintir
• Retrofleksi uteri gravida inkarserata
• Ruptur pembuluh darah mesenterium
Etiologi
Penyebab dari kehamilan ektopik ada yang diketahui ada pula yang tidak diketahui. Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Namun perlu diingat bahwa kehamilan ektopik dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko. Faktor risiko kehamilan ektopik adalah :
a. Faktor riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.


b. Faktor penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil, masih menggunakan kontrasepsi spiral (3 – 4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil progesteron dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim

c. Faktor kerusakan dari saluran tuba
Telur yang sudah dibuahi mengalami kesulitan melalui saluran tersebut sehingga menyebabkan telur melekat dan tumbuh di dalam saluran tuba. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan saluran tuba diantaranya adalah :
1) Merokok : kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5 kali dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh
2) Penyakit Radang Panggul : menyebabkan perlekatan di dalam saluran tuba, gangguan pergerakan sel rambut silia yang dapat terjadi karena infeksi kuman TBC, klamidia, gonorea
3) Endometriosis tuba : dapat menyebabkan jaringan parut di sekitar saluran tuba
4) Tindakan medis : seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah panggul, pengobatan infertilitas seperti bayi tabung, menyebabkan parut pada rahim dan saluran tuba
5) Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalfing
6) Tuba sempit, panjang dan berlekuk-lekuk
7) Gangguan fungsi rambut getar ( silia ) tuba
8) Operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna
9) Striktur tuba
10) Divertikel tuba dan kelainan congenital lainnya
11) Perleketan peritubal dan lekukan tuba
12) Tumor lain menekan tuba
13) Lumen kembar dan sempit
d. Faktor uterus
• Tumor rahim yang menekan tuba
• Uterus Hipoplastis

e. Faktor ovum
• Migrasi eksterna dari ovum
• Perlengketan membrane granulose
• Rapid cell devision
• Migrasi internal ovum

2.3 Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah: hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, abortus ke dalam lumen tuba, dan ruptur dinding tuba.
2.4 Klasifikasi pembagian tempat-tempat kehamilan ektopik
a) Kehamilan Tuba
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Karena tuba bukan tempat yang normal bagi kehamilan maka sebagian besar kehamilan akan terganggu pada umur 6-10 minggu.
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan :
• Mati kemudian diresorbsi
• Terjadi abortus tuba (65 %), perdarahannya bias sedikit atau banyak.
Hasil konsepsi atau perdarahan bisa keluar kea rah kavum uteri dan dikeluarkan pervaginam, atau dari kavum abdominal sehingga bertumpuk dibelakang rahim disebut hematoma retrourina atau masa pelvis (pelvic mass).
• Terjadi ruptur tuba (35 %)
Bila robekan kecil maka hasil konsepsi tetap tinggal dalam tuba, sedangkan dari robekan terjadi perdarahan yang banyak Bila robekan besar hasil konsepsi keluar dan masuk dalam rongga perut, nasib konsepsinya yaitu :
o Mati dan bersama darah berkumpul diretrourina
o Bila janin agak besar dan mati akan menjadi litopedion dalam rongga perut
o Janin keluar dari tuba diselubungi kantong amnion dan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut dan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Selanjutnya janin dapat tumbuh besar bahkan sampai aterm.

Kehamilan Intramuralis (Intertisial)
Karena dinding agak tebal, dapat menahn kehamilan sampai 4 bulan atau lebih, kadang kala sampai aterm. Kalau pecah dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan keluarnya janin dalam rongga perut.
Kehamilan Isthmus
Dinding tuba disini lebih tipis, biasanya pada kehamilan 2-3 bulan sudah pecah
Kehamilan ampula dan fimbria
Dapat terjadi abortus atau rupture pada kehamilan 1-2 bulan dan nasib hasil konsepsi sama dengan Intertisial
Perubahan pada uterus
Hormon-hormon kehamilan akan memberikan reaksi pada uterus seperti pada kehamilan biasa dan tetap ditemui uterus yang bertambah besar dari biasa, melunak, suplai darah yang bertambah, dan terbentuknya desidua.
Bila hasil konsepsi dalam tuba mati, maka desidua mengalami degenerasi, terkelupas, berdarah kemudian keluar pervaginam disebut desidua cast. Bila tidak ada gejala sering diduga keguguran sehingga dilakukan kuretase.

b) Combined ectopic pregnancy
Sangat jarang dijumpai kehamilan ektopik bersama dengan kehamilan intrauterine. Frekuensinya antar 1 : 10.000 sampai 1 : 30.000 persalinan.
Pada umumnya diagnosis dibuat setelah operasi kehamilan ektopik terganggu. Pada laparotomi ditemukan selain kehamilan ektopik juga kehamilan intrauterine dan didapati 2 korpus luteum.

c) Kehamilan Ovarial
Perdarahan terjadi bukan saja karena pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga oleh rupture kista korpus luteum, torsi dan endometriosis. Gejala-gejalanya sama dengan kehamilan tuba.
Stux membagi kehamilan ini menjadi :
• Intra Folikular (nidasi pda folikel)
• Superfisial (implantasi pada permukaan ovarium)
• Intertisial ( pada pars interstitialis ovarium)

Diagnosisnya ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari Spiegelberg yaitu:
1) Tuba pada sisi kehamilan harus normal
2) Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
3) Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium
4) Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin

d) Kehamilan Abdominal
Menurut cara terjadinya dibagi menjadi:
1. Primer
Implantasi terjadi sesudah dibuahi, langsung pada peritonium atau kavum abdominal
2. Sekunder
Bila embrio yang masih hidup dari tempat primer, misalnya karena abortus tuba atau ruptur tuba, tumbuhlagi dalam rongga abdomen.
Kehamilan abdominal dapat mencapai aterm dan anak hidup, hanya sering menjadi cacat tubuh. Biasanya fetus sudah meninggal sebelum cukup bulan kemudian mengalami degenerasi dan maseasi, infiltrasi lemak, menjadi lithopedion ( membantu) atau menjadi fetus papyraceus.
Terapi
Setelah diagnosa ditegakkan sedini mungkin harus dilakukan laparotomi. Anak dikeluarkan dan tali pusat dipotong sependek mungkin, placenta dibiarkan berada dalam rongga perut karena untuk mencegah perdarahan. Bila selamat biasanya akan diabsorbsi dalam waktu beberapa bulan.
Tampak uterus terdorong kebelakang dan implantasi plasenta sebagian besar pada dinding depan rahim.

e) Kehamilan Servikal
• Gejala
Terdapat tanda-tanda hamil muda yang jarang berlanjut, biasanya hanya sampai 3-4 bulan kehamilan sudah terganggu dan terjadi perdarahan peraginam yang kadang bisa hebat.
• Terapi
Dilakukan total histerektomi

f) Kehamilan Heterotopik
Adalah kehamilan kembar yang berlainan tempat misalnya IUP dan kehamilan ektopik, tuba kana dan kiri, IUP dan kehamilan abdominal.
Etiologi
• Bisa terjadi dari pembuahan, dua ova yaitu bulan ini dari oarium kanan dan bulan depan dari ovarium kiri
• Dari 1 ovarium keluar 2 ova yaitu bisa dari 2 follikel de Graff, atau dari 1 follikel de Graff
• Dalam satu kali ovulasi serentak keluar dua ovum dari satu ovarium kanan dan satu dari ovarium kiri.
Prognosis
Bila diagnosa cepat ditegakkan umumnya baik, disertai dengan persedian darah dan fasilitas operasi serta narkose.
Mortalitas . sekarang kurang dari 1 %

2.5 Diagnosa dan gejala klinik
1) Anamnesis : terjadi amenorea
2) Bila dijumpai KET : pada abortus tuba tidak begitu berat hanya rasa sakit di perutdan perdarahan pervaginam, bila terjadi ruptur tuba maka gejala akan lebih hebat dan membahayakan ibu
3) Perasaan nyeri dan sakit yang tiba-tiba di perut seperti di iris-iris dengan pisau bahkan sampai pingsan
4) Tanda-tanda akut abdomen : nyeri tekan hebat, mual, mutah, tensi rendah, nadi kecil dan halus, anemi
5) Nyeri bahu : karena perangsangan diafragma
6) Tanda cullen : sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru hitam dan lebam
7) Pemeriksaan ginekologik : nyeri ayun porsio dan nyeri tekan pada kavum Dauglasi, teraba masa pelvis
8) Pervaginam keluar desidual cast
9) Palpasi perut dan perkusi : ada tanda-tanda perdarahan abdominal
10) Pemeriksaan laboratorium : Hb seri di periksa setiap 1 jam, adanya lekositosis
11) Kuldosentesis (Douglass Pungsi) :
a. Untuk mengetahui adakah darah dalam kavum Douglasi
b. Bila keluar darah merah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau hanya bekuan kecil maka ini dikatakan positif (fibrinasi) dan menunjukkan adanya hematoma retrourina
c. Bila darah segar berwarna merah dan bebrapa menit membeku maka hasinya negatif karena darah berasak dari arteri atau vena yang tertusuk
12) Dengan cara diagnostik laparoskopi
13) Dengan cara ultrasonografi

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% -hCG. pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada -hCG yang keadaan-keadaan berikut:
1) Kehamilan ektopik dengan kadar menurun
2) Kehamilan tuba
3) Tidak ada perdarahan intraabdominal atau rupture
4) Diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber -hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL,lain menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini : keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron, disebutkan dalam literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya kadar -hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik -hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. -hCG masih perlu diawasi setiap Setelah terapi berhasil, kadar minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
b. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
c. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)
2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
3) terjadi kegagalan sterilisasi
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya
5) pasien meminta dilakukan sterilisasi
6) perdarahan berlanjut pasca salpingotomi
7) kehamilan tuba berulang
8) kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
e. Laparatomi
Dengan tindakan laparotomi, meliputi :
1. Memperhatikan kondisi penderita saat itu, lokasi kehamilan ektopik,kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Untuk menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba.
2 Apabila kondisi pendeirta buruk dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi
3 Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampullaris tuba yang belum pecah ditangani dengan tindakan kemoterapi untuk menghindari pembedahan, dengan kriteria :
a. Kehamilan di pars ampullaris tuba ang belum pecah
b. Diameter kantong gestasi ≤ 4 cm
c. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml
d. Tanda vital baik dan stabil
e. Obat yang digunakan ialah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum factor 0,1 mg/kg 1 M berselang seling setiap hari selama 8 hari
2.7 Prognosis bagi kehamilan berikutnya
Suatu kewajaran untuk khawatir mengenai masalah kesuburan setelah mengalami kehamilan ektopik. Seseorang yang mengalami kehamilan ektopik bukan berarti tidak dapat mengalami kehamilan normal namun berarti seseorang memiliki kemungkinan untuk mengalami kehamilan ektopik lagi di masa depan.
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.



















BAB III
TINJAUAN KASUS
A. DATA PASIEN
Tanggal : 2 Oktober 2008
Pasien OK UGD : II
Nama, Jenis, umur : Ida Rohayi, Perempuan, 22 th
Alamat : Jl. Raya Tanjung Sabat Lubeg
Diagnosa pre op : KET
Diagnosa Post Op : -
Tindakan : Laparatomy KET
Jenis Operasi : Sedang
Operator : Dr. Zuraida
Asisten I : Dr. Wandi
Asisten II : Coas
Instrumentator : Nina dan mahasiswa
Jenis Anestesi : Umum
Kamar, Tanggal, Jam : OK III/2 Oktober 2008 13.00 WIB
Bangsal pre op : Pre Op
Bangsal Post : -
Urusan ADM : -
Medikal Rekord : 610370
Runner : Rini dan mahasiswa

B. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Ruangan : ruangan OK II
2. Persiapan Alat Operasi
Alat steril
a. Laparatomy Set (Mayor surgency Set)
• Desinfektan Forceps 2
• Needle Holder 2
• Plan Dissactor 2
• Tooth Dissactor 2
• Schissor 2
• Small straigh kocker artery 5
• Small straigh artery forceps 5
• Small curved artery forceps 10
• Scaple Handle 1
• Long curved artery forceps 3
• Retraktor 4
• Towell clip 5
• Spatula 2
• Kotak jarum 1
• Suction 1
• Medium curved 2
• Probe 1
• Allys 2
b. Bowel
• Buah baju steril 4
• Kom besar 2
• Duk Besar 3
• Duk kecil 3
c. Kom kecil untuk diisikan dengan betadine 1
d. Rubber set 2
e. Slang suction 1
f. Handscoon 4 pasang
g. Pisau no. 23 1
h. Kassa 2 bungkus
i. Dram gas 1
j. Pemegang lampu 1
k. Kauter 1




Alat non steril
• Suction
• Alat-alat Anestesi
• Tempat tidur dan alasnya yaitu perlak
• Tempat sampah
• Meja instrument besar dan kecil
• Lampu operasi
3. Persiapan Pasien
a. Melakukan Inform Consent
b. Mempersiapkan mental pasien
c. Melepas semua pasien
d. Pasien dibawa keruang operasi dengan infuse yang sudah terpasang
4. Persiapan anestesi : umum
5. Pelaksanaan
1. Petugas yang melakukan tindakan operasi melakukan cuci tangan dan memasang baju steril, handscoon, dan pemegang lampu
2. Daerah yang akan dilakukan pembedahan dilakukan desinfeksi dengan betadine secara melingkar , kira-kira 15 cm
3. Memasang perlak untuk badan bagian bawah serta duk besar ,satu untuk badan bagian atas dan satu lagi untuk badan bagian bawah/diatas perlak
4. Memasang duk kecil pada sisi kiri – kanan pasien
5. Menjepit pada masing-masing ujung pertemuan duk dengan towel klip
6. Instrument mempersiapkan alat-alat yang diperlukan dan menyusunnya
7. Merendam Dram gas dengan NaCL kemudian memerasnya
8. Pembedahan dimulai oleh dokter dan instrument mempersiapkan dan memberikan alat-alat yang dibutuhkan oleh dokter
9. Abdomen pasien dibedah dimulai dari cutis, sub kutis, fasia, otot dan peritonium. Darah yang mengalir hisap dengan suction.
10. Kemudian dicari bagian tuba sebelah kiri pasien untuk dilakukan insisi.
11. Dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati, dan diletakkan diatas kassa steril. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter.
12. Kemudian insisi tuba tadi dijahit kembali
13. Setelah itu penjahitan selanjutnya pada peritoneum, otot, facia, subkutis dan cutis.
14. Daerah sekitar penjahitan dibersihkan dan tempat penjahitan ditutup dengan kassa yang diberi betadine dan kassa yang bersih diatasnya, kemudian di plester.
15. Alat-alat dikumpulkan untuk dicuci, rendam dengan larutan clorin selama 10 menit, kemudian dicuci dengan sabun, di bilas dan dikeringkan.
16. Susun alat-alat, tempelkan label alat kemudian alat dihitung apakah sudah lengkap atau belum dan disimpan di tempat lemari penyimpanan.




















BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
KET berhubungan dengan karakteristik tertentu yaitu infeksi tuba, penggunaan kontrasepsi dan riwayat operasi serta ginekologi sebelumnya.
Pada kehamilan ektopik terganggu di temukan pada pemeriksaan vaginal yaitu dalam usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, demikian juga kavum Douglas menonjol dan nyeri pada perabaan.
Jika terjadi ruptur tuba dengan perdarahan banyak maka tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat, jika lebih banyak lagi bisa menimbulkan syok.
Apabila salah satu saluran tuba terganggu (contoh karena perlekatan) maka terdapat kemungkinan saluran tuba yang di sebelahnya mengalami gangguan juga. Hal ini dapat menurunkan angka kehamilan berikutnya dan meningkatkan angka kehamilan ektopik selanjutnya. Pada kasus yang berkaitan dengan pemakaian spiral, tidak ada peningkatan risiko kehamilan ektopik apabila spiral diangkat
Umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik pada tuba lain.

4.2 Saran
Diharapkan kepada petugas kesehatan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh dengan tujuan untuk menurunkan angka kejadian KET. Informasi mengenai KET harus lebih disebarluaskan kepada masyarakat, baik bentuk penyuluhan/penataran maupun bentuk-bentuk kegiatan kemasyarakatan lainnya.





DAFTAR PUSTAKA

Ida, Bagus Gde Manuaba. 1998. ”Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan”. Jakarta : EGC.

Mochtar, Rustam. 1998. ” Sinopsis Obstetri”. Jakarta : EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2005. ” Ilmu Kebidanan”. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Prawirohardjo, Sarwono. 2002. ” Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal”. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
lihat artikel tentang - Kehamilan Ektopik
Konetn 1 Konten 2 Konten 3 Konten 4 Konten 5

Artikel yang berhubungan:

kti